Rabu, 04 Maret 2015

TASAMUH DALAM FIKIH (Menuju Wihdatul Ummah)



Tasamuh adalah sikap tenggang rasa terhadap sesama dalam masyarakat dimana kita berada. Tasamuh juga di artikan sebagai sabar menghadapi keyakinan-keyakinan orang lain, pendapat-pendapat mereka dan amal-amal mereka walaupun bertentangan dengan keyakinan dan batil, dan tidak boleh mencela dengan celaan yang membuat orang lain sakit dan tersiksa perasaannya.
1.             Konsep Dasar Fikih
Menurut Burhanuddin dan Sopian, A. (2011, hlm 128) fikih menurut bahasa berarti tahu dan faham. Adapun menurut istilah, fikih disebut juga ilmu syari’at. Orang yang mengetahui ilmu fikih tersebut disebut faqih.
Fikih digali dengan jalan ijtihad. Adapun dalil-dalil syara’ yang telah disepakati oleh ulama jumhur secara berurutan adalah Al-Quran, Sunnah, ijtihad, dan al-Qiyas. Ijtihad adalah menggunakan seluruh kesanggupan berpikir untuk menetapkan hukum syara dengan jalan mengeluarkan hukum dari Kitab dan Sunnah.
Alim, M. (2006, hlm 197) mengungkapkan bahwa orang yang akan melakukan ijtihad harus memenuhi persyaratan yang terpenting ialah: a) Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Alquran yang berhubungan dengan masalah hukum, b) Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi Muhammad SAW, c) Mengetahui bahasa Arab dengan berbagai ilmu kebahasaannya, d) Mengetahui kaidah-kaidah ilmu ushul fiqh yang seluas-luasnya, e) Mengetahui logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan yang benar tentang hukum dan sanggup mempertanggungjawabkannya, f) Mengetahui soal-soal ijma, g) Mengetahui hadis yang dibatalkan karena sesuatu yang lebih kuat dalam Alquran.

2.             Sikap muslim menyikapi khilafiyah fiqiyah
Sikap muslim menyikapi khilafiyah fiqiyah adalah a) Tidak membahas permasalahan yang belum terjadi hingga terjadi, b) Menjauhi ikhtilaf dan perpecahan, c) Mengembalikan permasalahan yang dipertentangkan kepada Al-Qura’an dan Sunnah.

3.             Kemungkinan Perbedaan
Perbedaan dapat dikelompokan dalam tiga kategori berikut ini: a) Perbedaan pada dzatuddin (esensi Agama) dan ushul (dasar-dasar) prinsipil, b) Perbedaan umat islam pada Qaidah Kulliyah (kaidah umum), c) Perbedaan furu’iyyah (cabang) perbedaan ini muncul pada tataran aplikatif, setelah terjadi kesepakatan pada masalah-masalah pokok dan kaidah kulliyah.

Perbedaan umum yang biasa dihadapi diantaranya :

a.         Bersentuhan dengan lawan jenis membatalkan wudhu
Umumnya para ulama sepakat bahwa menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram termasuk hal yang membatalkan wudhu (fiqihkehidupan.com). Pendapat tersebut didasarkan pada ketetapan Al-Quran yaitu:

...atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik. (QS. An-Nisa: 43)

Ada beberapa batasan dari menyentuh kulit yang membatalkan wudhu diungkapkan dari beberapa imam mazhab (fiqihkehidupan.com) :
1)        Mazhab Al-Malikiyah
Sentuhan kulit laki-laki dan wanita itu membatalkan wudhu hanya apabila disertai dengan nafsu atau kenikmatan. Baik yang tersentuh kulit, rambut, atau kuku dari wanita.
2)        Mazhab Asy-Syafi’iyah
Sentuhan yang membatalkan wudhu hanya apabila terpenuhi beberapa syarat: a) Menimbulkan syahwat meski umur belum baligh, b) Sentuhan terjadi sengaja atau tidak sengaja maka wudhu dianggap batal, c) Jika yang tersentuh kuku, rambut, dan gigi maka wudhu tidak batal, d) Yang tersentuh adalah kulit dengan kulit secara langsung, e) Pihak yang menyentuh dan disentuh maka sama-sama batal wudhunya, f) Sentuhan kulit sesama jenis tidak membatalkan wudhu, walaupun menimbulkan syahwat.
3)        Mazhab Al-Hanabilah
Sentuhan kulit antar laki-laki dan wanita yang membatalkan wudhu adalah bila sentuhanang mengakibatkan syahwat dan terjadi antara kulit laki-laki dan perempuan tanpa pelapis.
4)        Mazhab Al-Hanafiyah
Berbeda dengan mahzhab lainnya, mazhab ini tegas menolak bahwa sentuhan kulit tidak membatalkan wudhu. Sedangkan ayat Al-Quran yang secara tegas menyebutkan batalnya wudhu karena sentuhan, oleh mazhab ini ditafsirkan menjadi hubungan suami istri.
Dalam hal ini, kita dapat mengikuti salah satu mazhab yang kita yakini. Namun, pada dasarnya mempercayai suatu mazhab adalah bukan merupakan suatu yang disyariatkan oleh agama Islam. Kita boleh meyakininya apabila hal itu tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadis. Bila kita mengingat bahwa dalam haji terdapat thawaf yang mana antara lelaki dan perempuan akan saling bersentuhan antara satu dengan yang lainnya lantaran begitu padatnya manusia hingga mungkin berdesakan hingga sulit untuk menjaga diri agar tidak bersentuhan dengan lawan jenis. Maka dalam hal ini, apabila kita tetap berpegang teguh pada mazhab tertentu yang menyatakan bahwa bersentuhan itu membatalkan wudlu, maka bisa Anda bayangkan bila melakukan thawaf kita harus melakukan wudlu berkali-kali. Bahkan mungkin thawaf kita tidak terlaksana lantaran kita sibuk untuk terus menjaga wudlu kita. Maka dalam hal ini kita dapat menggunakan mazhab lain.

b.        Perayaan maulid nabi Muhammad saw.
Memperingati atau merayakan maulid nabi Muhammad saw, sudah menjadi tradisi yang mengakar dikalangan umat Islam Indonesia. Hari kelahiran Nabi Muhammad saw yang jatuh pada 12 Rabiul Awal bahkan sudah menjadi hari besar dan hari libur nasional.
Dikutip dari (alkhoirot.net) hukum yang memperbolehkan merayakan maulid nabi sebagaimana pendapat berbagai para ulama:
1)        Jalaluddin As-Suyuthi berpendapat bahwa memperingati maulid nabi yang berupa berkumpulnya manusia dengan membaca ayat Qur’an dan sejarah nabi, dan memakan hidangan makanan termasuk dari bid’ah ang baik (hasanah) yang mendapat pahala karena bertujuan mengagungkan Nabi Muhammad saw, dan menampak kegembiraan terhadap kelahiran Nabi.
2)        Sayyid Muhammad Alwi Al-Malik berpendapat bahwa boleh merayakan maulid Nabi dan berkumpul untuk mendengarkan sejarah Nabi, membaca shalawat dan salam untuk Nabi, mendengarkan puji-pujian ynag diucapkan untuk beliau, memberi makan (pada yang hadir) dan menyenangkan umat.
Selain itu, Abduh Tausikal, M. (rumaysho.com) mengungkapkan beberapa pendapat ulama Ahlus Sunnah dalam menyikapi perayaan maulid nabi:
1)        Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqi mengatakan “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu idul fitri dan idul adha) seperti perayaan sebagian malam dari Rabi’ul Awal, perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, hari ke-8 Syawal, awal jum’at dari bulan Rojab itu semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf ( sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tak pernah melaksanakannya.
2)        Syaikh Tajuddin ‘Umar bin Ali’ mengatakan bahwa maulid nabi adalah bid’ah madzmumah (bid’ah tercela) karena tidak memiliki dasar dari Al Qur’an dan Sunnah.

Dalam hal ini bila kita memperhatikan dengan baik pernyataan para ulama diatas dapat kita simpulkan bahwa sebuah perayaan seperti contohnya maulid nabi boleh dilakukan apabila kita yakini bukan sebagai ibadah namun hanya sebuah kebudayaan yang ada di Indonesia. Tahukan Anda bahwa nabi tidak pernah mencontohkan atau memerintahkan hal tersebut. Terlebih dengan tidak ada tuntunannya dalam Al-Quran dan Hadis. Sehingga apabila kita meyakininya sebagai sebuah ibadah maka kita berdosa karenanya.

4.    Dalam mencari kebenaran, diskusi dapat dijadikan salah satu cara efektif, agar tujuan menggapai ridha Allah. Munurut Burhanuddin dan Sopian, A. (2011, hlm 135) syarat dan adab dalam berdiskusi adalah: 1) Tidak mendahului fardu ain dengan fardu kifayah, 2) Tidak mendiskusikan sesuatu kecuali yang waqi’iy (faktual) atau yang mungkin terjadi pada umumnya, 3) Dialog tertutup 4) Dialog adalah mencari kebenaran tidak boleh membedakan sikap apakah kebenaran itu muncul dari dirinya atau orang lain, 5) Tidak menghalangi pihak lain menggunakan satu dalil ke dalil lain, 6) Tidak melakukan diskusi kecuali dengan orang yang dianggap akan dapat diambil ilmunya.

0 komentar:

Posting Komentar