Tasamuh adalah sikap
tenggang rasa terhadap sesama dalam masyarakat dimana kita berada. Tasamuh juga
di artikan sebagai sabar menghadapi keyakinan-keyakinan orang lain,
pendapat-pendapat mereka dan amal-amal mereka walaupun bertentangan dengan
keyakinan dan batil, dan tidak boleh mencela dengan celaan yang membuat orang
lain sakit dan tersiksa perasaannya.
1.
Konsep Dasar Fikih
Menurut Burhanuddin dan
Sopian, A. (2011, hlm 128) fikih menurut bahasa berarti tahu dan faham. Adapun
menurut istilah, fikih disebut juga ilmu syari’at. Orang yang mengetahui ilmu
fikih tersebut disebut faqih.
Fikih digali dengan
jalan ijtihad. Adapun dalil-dalil syara’ yang telah disepakati oleh ulama
jumhur secara berurutan adalah Al-Quran, Sunnah, ijtihad, dan al-Qiyas. Ijtihad
adalah menggunakan seluruh kesanggupan berpikir untuk menetapkan hukum syara dengan jalan mengeluarkan hukum
dari Kitab dan Sunnah.
Alim, M. (2006, hlm
197) mengungkapkan bahwa orang yang akan melakukan ijtihad harus memenuhi
persyaratan yang terpenting ialah: a) Memiliki ilmu pengetahuan yang luas
tentang ayat-ayat Alquran yang berhubungan dengan masalah hukum, b) Memiliki
pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi Muhammad SAW, c) Mengetahui
bahasa Arab dengan berbagai ilmu kebahasaannya, d) Mengetahui kaidah-kaidah
ilmu ushul fiqh yang seluas-luasnya,
e) Mengetahui logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan yang benar tentang
hukum dan sanggup mempertanggungjawabkannya, f) Mengetahui soal-soal ijma, g) Mengetahui hadis yang
dibatalkan karena sesuatu yang lebih kuat dalam Alquran.
2.
Sikap muslim menyikapi khilafiyah fiqiyah
Sikap muslim menyikapi khilafiyah fiqiyah adalah a) Tidak
membahas permasalahan yang belum terjadi hingga terjadi, b) Menjauhi ikhtilaf
dan perpecahan, c) Mengembalikan permasalahan yang dipertentangkan kepada
Al-Qura’an dan Sunnah.
3.
Kemungkinan Perbedaan
Perbedaan dapat
dikelompokan dalam tiga kategori berikut ini: a) Perbedaan pada dzatuddin
(esensi Agama) dan ushul (dasar-dasar) prinsipil, b) Perbedaan umat islam pada
Qaidah Kulliyah (kaidah umum), c) Perbedaan furu’iyyah (cabang) perbedaan ini
muncul pada tataran aplikatif, setelah terjadi kesepakatan pada masalah-masalah
pokok dan kaidah kulliyah.
Perbedaan
umum yang biasa dihadapi
diantaranya :
a.
Bersentuhan dengan lawan jenis
membatalkan wudhu
Umumnya para ulama sepakat bahwa menyentuh kulit
lawan jenis yang bukan mahram termasuk hal yang membatalkan wudhu
(fiqihkehidupan.com). Pendapat tersebut didasarkan pada ketetapan Al-Quran
yaitu:
...atau
kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik. (QS. An-Nisa: 43)
Ada beberapa batasan dari menyentuh kulit yang
membatalkan wudhu diungkapkan dari beberapa imam mazhab (fiqihkehidupan.com) :
1)
Mazhab Al-Malikiyah
Sentuhan kulit
laki-laki dan wanita itu membatalkan wudhu hanya apabila disertai dengan nafsu
atau kenikmatan. Baik yang tersentuh kulit, rambut, atau kuku dari wanita.
2)
Mazhab Asy-Syafi’iyah
Sentuhan yang membatalkan wudhu hanya apabila
terpenuhi beberapa syarat: a) Menimbulkan syahwat meski umur belum baligh, b)
Sentuhan terjadi sengaja atau tidak sengaja maka wudhu dianggap batal, c) Jika
yang tersentuh kuku, rambut, dan gigi maka wudhu tidak batal, d) Yang tersentuh
adalah kulit dengan kulit secara langsung, e) Pihak yang menyentuh dan disentuh
maka sama-sama batal wudhunya, f) Sentuhan kulit sesama jenis tidak membatalkan
wudhu, walaupun menimbulkan syahwat.
3)
Mazhab Al-Hanabilah
Sentuhan kulit
antar laki-laki dan wanita yang membatalkan wudhu adalah bila sentuhanang
mengakibatkan syahwat dan terjadi antara kulit laki-laki dan perempuan tanpa
pelapis.
4)
Mazhab Al-Hanafiyah
Berbeda dengan
mahzhab lainnya, mazhab ini tegas menolak bahwa sentuhan kulit tidak
membatalkan wudhu. Sedangkan ayat Al-Quran yang secara tegas menyebutkan
batalnya wudhu karena sentuhan, oleh mazhab ini ditafsirkan menjadi hubungan
suami istri.
Dalam hal ini, kita dapat mengikuti salah satu
mazhab yang kita yakini. Namun, pada dasarnya mempercayai suatu mazhab adalah
bukan merupakan suatu yang disyariatkan oleh agama Islam. Kita boleh
meyakininya apabila hal itu tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadis. Bila
kita mengingat bahwa dalam haji terdapat thawaf yang mana antara lelaki dan
perempuan akan saling bersentuhan antara satu dengan yang lainnya lantaran
begitu padatnya manusia hingga mungkin berdesakan hingga sulit untuk menjaga
diri agar tidak bersentuhan dengan lawan jenis. Maka dalam hal ini, apabila
kita tetap berpegang teguh pada mazhab tertentu yang menyatakan bahwa
bersentuhan itu membatalkan wudlu, maka bisa Anda bayangkan bila melakukan
thawaf kita harus melakukan wudlu berkali-kali. Bahkan mungkin thawaf kita
tidak terlaksana lantaran kita sibuk untuk terus menjaga wudlu kita. Maka dalam
hal ini kita dapat menggunakan mazhab lain.
b.
Perayaan maulid nabi Muhammad saw.
Memperingati atau merayakan maulid nabi Muhammad
saw, sudah menjadi tradisi yang mengakar dikalangan umat Islam Indonesia. Hari
kelahiran Nabi Muhammad saw yang jatuh pada 12 Rabiul Awal bahkan sudah menjadi
hari besar dan hari libur nasional.
Dikutip dari (alkhoirot.net) hukum yang
memperbolehkan merayakan maulid nabi sebagaimana pendapat berbagai para ulama:
1)
Jalaluddin As-Suyuthi berpendapat bahwa
memperingati maulid nabi yang berupa berkumpulnya manusia dengan membaca ayat
Qur’an dan sejarah nabi, dan memakan hidangan makanan termasuk dari bid’ah ang
baik (hasanah) yang mendapat pahala karena bertujuan mengagungkan Nabi Muhammad
saw, dan menampak kegembiraan terhadap kelahiran Nabi.
2)
Sayyid Muhammad Alwi Al-Malik
berpendapat bahwa boleh merayakan maulid Nabi dan berkumpul untuk mendengarkan
sejarah Nabi, membaca shalawat dan salam untuk Nabi, mendengarkan puji-pujian
ynag diucapkan untuk beliau, memberi makan (pada yang hadir) dan menyenangkan
umat.
Selain itu, Abduh Tausikal, M. (rumaysho.com)
mengungkapkan beberapa pendapat ulama Ahlus Sunnah dalam menyikapi perayaan
maulid nabi:
1)
Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Ad
Dimasqi mengatakan “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya
yang disyari’atkan (yaitu idul fitri dan idul adha) seperti perayaan sebagian
malam dari Rabi’ul Awal, perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8
Dzulhijjah, hari ke-8 Syawal, awal jum’at dari bulan Rojab itu semua adalah
bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf ( sahabat yang merupakan generasi
terbaik umat ini) dan mereka juga tak pernah melaksanakannya.
2)
Syaikh Tajuddin ‘Umar bin Ali’
mengatakan bahwa maulid nabi adalah bid’ah
madzmumah (bid’ah tercela) karena tidak memiliki dasar dari Al Qur’an dan
Sunnah.
Dalam hal ini bila kita memperhatikan dengan baik
pernyataan para ulama diatas dapat kita simpulkan bahwa sebuah perayaan seperti
contohnya maulid nabi boleh dilakukan apabila kita yakini bukan sebagai ibadah
namun hanya sebuah kebudayaan yang ada di Indonesia. Tahukan Anda bahwa nabi
tidak pernah mencontohkan atau memerintahkan hal tersebut. Terlebih dengan
tidak ada tuntunannya dalam Al-Quran dan Hadis. Sehingga apabila kita
meyakininya sebagai sebuah ibadah maka kita berdosa karenanya.